Cinta Bukan Tak Pernah Salah


"Ayo dek, kita pulang," suami menggamit tanganku. Tangan kirinya memegang payung, menaungiku dari terik matahari yang mulai menyengat ubun-ubunku di pekuburan muslim di bilangan Bandung utara itu. "Aki' dan Ene' sudah kembali, pulang ke haribaan Allah. Doakan saja kubur mereka lapang dan terang serta ridha Allah selalu melingkupi."

Aku bangkiut menyambut tangannya. "Selamat jalan Aki, selamat jalan Ene', semoga Allah menjadikan cinta Aki dan Ene' abadi, dan menyatukan Aki dan Ene' hingga di janahNya kelak. Amin." pintaku tulus.
Kemudian kami berdua berjalan ke mobil dalam diam, masing-masing tenggelam dalam kenangan indah akan Aki dan Ene' yang kini sudah terbaring dalam peristirahatan terakhir mereka yang berdampingan.

***

Aki dan Ene' sebetulnya adalah kakek dan nenek suamiku. Aku bahkan baru mengenal mereka secara mendala, sekitar dua mingu lalu ketika kami berdua menginap di rumah mereka yanga sri di Dago, Bandung. Maklum, karena tuntutan tugas suami, dua tahun pertama pernikahan kami lewatkan di Gorontalo, jauh dari sanak kerabat.

Setelah akhirnya kembali dipindahtugaskan di kantor pusat Jakarta, atas desakan ayah mertua, suami pun mengajak aku bersilaturahmi ke rumah kakek dan neneknya. Aki dan Ene', begitulah keluarga besar kami memanggil mereka.

"Ajaklah istrimu menginap di Dago, Den," kata ayah mertuaku, "Aki dan Ene' pasti sudah kangen padamu," bujuk beliau. "Selain itu," tambahnya lagi, "Biar istrimu ganti suasana, agar lebih ceria wajahnya."

Malu juga sebenarnya mendengar tutur mertua. Apakah seterbaca itu cuaca hatiku lewat mimik wajahku,ya? Memang waktu itu aku dan suami sedang terlibat masalah rumah tangga yang menurutku cukup pelik. Membuat hari-hariku murung dan kehilangan semangat.

Tiga jam perjalanan Jakarta-Bandung kami habiskan tanpa kata, membuat batinku amat tersiksa. Kala itu kami memang sedang tidak bertegur sapa. Rasanya aku berkendara dengan sosok asing, yang tak lagi kukenal. Padahal sosok yang sama kan sebetulnya sudah berbagi kehidupan denganku sela,a dua tahun terakhir. "Masihkah sebetulnya ada cinta darimu untukku A'?" tanya suara hatiku pada bayangan wajah suami yang memantul di kaca jendela mobil, karena memang cuma sebatas itu keberanianku.

Hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya. Itupun ketika mobil sudah diparkir di depan pekarangan ruma Aki, "Nanti di sana, usahakan wajahmu lebih sumringah. Nggak perlu seluruh dunia tahu masalah kira,"katanya dingin tanpa menatapku sama sekali.

Ah, saat itu rasanya hanya keajaiban saja yang menahan air mata hingga tidak tumpah. Jika rasa sedih itu berwarna biru, kurasa hatiku saat itu sudah tercelup warna biru tua, sepekat-pekatnya, laksana biru gelap samudra di titip terdalam.

Aki-lah yang menyambyt kami berdua dengan keramahan khas Tanah Priangan di ruang tamunya. "Sudah, cucu duduk dulu," kata beliau, "Biar si Ujang nanti yang beresin barang-barang cucu," kata beliau lagi sambil memanggil Ujang, salah seorang pembantu rumah tangganya.

Setelah mencium tangan beliau, kami duduk di ruang tamu yang nyaman, juga khas Jawa Barat. Tempat duduk dari bambu, lampu berkap anyaman bambu serta semilir angin dari jendela lebar yang menyuguhkan lukisan alam panorama indah Dago sedikit banyak cukup melipur laraku kala itu.

"GEULIIIIIIIIIS . . .," tiba-tiba Aki berteriak memanggil seseorang. "Geuliiis, kadieu, ayaaang . . .," panggilnya lagi. Suaranya tinggi dan lembut, seperti sedang memanggil anak-anak. Kupikir beliau sedang memanggil salah seorang cucu atau mungkin cicitnya yang juga sedang menginap. Namun sahutan yang keluar dari dalam rumah seketika menyadarkanku bahwa perkiraan itu salah total.

"Sebentar akang kasep ayaaaaang. . .," suara yang berasal dari pita suara yang tipis menyahut dari dalam, Jelas bukan suara anak-anak sama sekali. Sedetik kemudian pemilik suara itu muncul di hadapan kami. Sesosok nenek dengan tubuh kecil dan wajah sangat ramah tersenyum, "Assalamualaikuuum, cucuuuu. . ." sapanya.



Aku jadi lupa pada kesedihan yang membuat hati kelam membiru itu. Suara Ene' sangat menghibur, menularkan energi kebagahiaan pada kami semua. Diciumnya aku dan suami dengan hangat. Malah pipi cucunya--suamiku sang manager keuangan di sebuah perusahaan multi nasional itu--dicubitnya gemas, membuat ekspresi es batu lelaki itu mencair. "Kenapa atuh si Deden ini baru sekarang ajak istri ke rumah Ene'?" kata beliau pura-pura marah. "Kenapa atuh kue buatan Ene' belum diicipin?" Pandangannya beralih ke toples yang masih tertutup di atas meja, "Hayu atuh diicipin, mangga', jangan malu-malu," Ucap Ene' dengan logat Bandungnya seperti bernyanyi.

Ene' mengambil sebuah piring kecil yang sudah tersedia di meja tamu dan mengisinya dengan aneka kue kering. "Deden dan Dinda ambil sendiri ya," kata Ene' lagi, "Kalau yang ini khusus Ene' ambilkan buat Aki-mu," katanya sambil tersenyum, "Mangga Akang kaseep. . .," Ene' menyodorkan piring kecil berisikan kue-kue lezat itu ke hadapan Aki.

"Subhanallah, hebay euy, LUAR BIASA!" rasanya ingin aku berdiri dan bertepuk tangan meriah menonton sepenggal adegan indah yang terjadi di depan mata itu. Tepat di saat kami, pasangan muda yang baru dua tahun menikah itu, sedang tidak bertegur sapa, pasangan senja usia itu memamerkan kemesraan dan romantisme yang tiada tara cantiknya.

Aki, hampir 80 tahun, memanggil Ene' dengan panggilan sayang 'geulis' atau cantik. Ene' yang lima tahun lebih muda, mesra memanggil suaminya dengan sebutan 'akang asep' atau kakak yang ganteng. Belum lagi bonus 'ayang' yang pasti bermakna 'sayang'. Tidak kupungkiri keduanya mungkin sewaktu muda memang ganteng dan cantik karena bekas-bekas keindahan paras mereka sedikit banyak masih terlihat.

Namun setia dengan panggilan romantis itu selama paling tidak lima dekade pernikahan? Ambooi, aku terbakar oleh rasa ingin tahu akan rahasia di balik keindahan mahligai cinta mereka.

***

Aki yang mulai bercerita pada kami berdua tentang awal perjumpaannya dengan Ene' 55 tahun silam ketika esoknya kami berjalan pagi keliling komplek.

Memang untuk usianya yang 80 tahun, Aki' terlihat sehat dan tegap. Jalan pagi bersama kami dilakukannya dengan napas yang diatur dengan konsisten. Stamina yang mengagumkan. "Hasil dari olahrag rutin dan puasa senin kamis selama puluhan tahun," papar beliau sambil tersenyum.

Udara Dago yang sejuk, panorama pegunungan, burung yang berkicau, bunga-bunga yang merekah di pinggir jalan membingkai obrolan pagi kami dengan beliau.

"Ene' kalian, geulisku itu, adalah anak perempuan satu-satunya, bungsu dari sebuah keluarga terpandang di Bandung. . ." Aki membuka cerita. Berikutnya aku dan suamiku tenggelam dalam sebuah kisah yang lebih indah dari kisah Cinderella, Pretty Woman, Romeo dan Juliet atau kisah cinta apapun yang diangap manusia masa kini menggambarkan romantika sepasang sejoli berlainan jenis, setidaknya menuruttku.

***

Sebagai putri keluarga terpandang, wajar bila ketika itu kumbang-kumbang mulai terbang mengitari Ene', mengajukan diri sebagai calon suami beliau. Namun dengan santun Ene' menolak mereka.

Orang tua Ene' yang sudah ingin memangku cucu pun menanyakan pada putri mereka, jodoh seperti apa yang Ene' inginkan.

"Euis," kata mereka. "Sebetulnya jodoh seperti apa yang kau inginkan? Nanti biar bapak carikan, yang penting Euis bahagia," kata orang tua Ene'.

Ene' berasal dari keluarga baik-baik yang berpendidikan tinggi namun dengan background agama Islam yang tidak terlalu kuat. Justru kebudayaan Belanda lebih mewarnai gaya hidup keluarga Ene'. Orang tua Ene' pun fasih berbahasa Belanda. Pesta dansa-dansi mewarnai acara akhir pekan mereka. Itulah yang membuat orang tua Ene' berpikir ahak demokratis dibanding warga Bandung lainnya pada jaman itu, Ene' diijinkan memilih jodohnya sendiri.

"Bapak dan Ibu yang Euis hormati," kata Ene' kala itu. "Bukannya Euis tidak menghargai mereka yang sudah datang ke rumah kita untuk mendekati Euis, tapi . . ."

"Bilang saja Nak, seperti apa kriteria yang kau inginkan," potong bapaknya tidak sabar, "Bapak akan carikan siapapun demi membahagiakanmu, anakku."

Allah menghendaki, walaupun dibesarkan dalam keluarga yang asing dengan norma-norma Islam, fitrah yang dibekali Allah di hati Ene' sangat kuat menarik gadis itu ke cahaya Al Islam. Bisa jadi karena pengaruh salah seorang pengasuh Ene' sewaktu kecil yang memang kala itu sudah rutin shalat dan mengaji. Fitrah inilah yang kiranya membuat Ene' menjawab pertanyaan bapaknya kala itu dengan jawaban yang mencengangkan semua yang mendengarnya.

"Euis ingin suami yang fasih membaca Al Quran, Pak, Euis ingin suami yang berasal dari lingkungan pesantren!" kata Ene' lembut tapi tegas.

Bapak Ene' menghela napas, tidak menyangka kata-kata seperti itu yang keluar dari lisan putri yang disayanginya. kemampuan membaca Al Quran bukanlah hal yang lumrah di keluarga mereka. Maklum, puluhan tahun lalu, dakwah Islam belum marak seperti sekarang.

"Tidak apa-apa jika calon suami Euis tidak rupawan, tidak berpendidikan tinggi, atau tidak kaya, Pak, "lanjut Ene' lagi, "Euis hanya ingin merasakan indahnya belajar shalat dan mengajari dengan diajari suami sendiri".

Karena sudah terlanjur menyanggupi, dengan hati masih penuh tanda tanya, bapak Ene' pun datang bersilaturahim ke sebuah pesantren di kawasan Cirebon di mana beliau kemudian berjumpa dengan Aki, salah seorang santri senior di sana.

***

Begitulah ceritanya hingga Aki-mu ini berjodoh dengan Ene'mu, Cu..," cerita Aki dengan wajah bahagia. "Aki ini menjadi menantu keluarga terpandang bermodalkan kemampuan mengaji 'saja'. Ene'mu dengan segenap keihklasannya ridha diperistri dan dipimpin Aki yang berasal dari keluarga sederhana," Aki menutup kisahnya.

Kulirik suamiku, nampak larut terbawa suasana. Matanya yang beberapa hari terakhir menghindar dari pandangan kulihat beberapa kali mencuri pandang, lembut, menyiratkan kerinduan yang sangat, membuatku tersipu.

Aku jadi kikuk seperti pengantin baru. "Terus apa resepnya bisa terus rukun bertahun-tahun begi, 'Ki?" aku bertanya menutupi gejolak hati, saat itu mendadak hatiku meletup-letup seperti abg yang sedang digoda dewa asrama.

"Mungkin pertanyaan itu lebih cocok kau tanyakan pada Ene' Din," jawab Aki. "Ene'mu lah yang sangat pandai merawat perkawinan kami agar senantiasa indah," lanjut beliau. "Cuma satu pesan Aki yang harus senantiasa kalian ingat, pesan dari guru Aki di Pesantren," tambahnya membuat kami berdua penasaran.

"Perselisihan suami istri, jangan diselesaikan secara formal di meja, Cu," beliau berbisik seakan-akan tengah mengatakan sebuah rahasia yang besar, matanya berkilat jenaka, "Tempat penyelesaian masalah suami istri yang terbaik adalah di atas kasur, KAAASUR!" tegasnya, dengan tawa berderai-derai.

Diam-diam sebuah cubitan gemas mendarat di pinggangku. Nasehat Aki terbukti sangat mujarab. Hatiku dan suami sempat membeku, malam itu mencair di atas kasur di rumah Aki.

***

Keesokan paginya aku bangun dengan jiwa yang segar seperti baju yang baru keluar dari laundry. Kuhampiri Ene' yang sedang sibuk memberi makan ayam-ayam di pekarangan belakang. Aki dan A' Deden sedang pergi membeli makanan ikan hias peliharaan Aki.

"Mari Dinda bantu, Ne'," aku meraih segenggam gabah dan menebarkannya ke beberapa ekor ayam yang langsung datang mematuk-matuk ke tanah. Ene' memelihara beberapa ayam kate berwarna putih. Imut-imut dan lucu sekali.

"Ne'," kataku, "Ajari Dinda dong resep menjadi istri yang baik, Dinda kepingin punya rumah tangga yang sakinah seperti Aki dan Ene'," ujarku tanpa dapat menyembunyikan rasa penasaran.

"Lho, memangnya kenapa? Rumah tangga Dinda kurang sakinah?" Ene' balik bertanya sambil mengulum senyum.

"Ya engga juga sih, Ne', tapi kalo ribut-ribut kecil sih adaaa. . .," jawabku, walau seketika itu juga badai ribut besar dengan suamiku beberapa hari lalu terputar kembali di depan mata.

***

Kalau suami termasuk dalam kategori pria bersosok ganteng, memang kusadari sejak dulu, Tapi bahwa ada resiko besar membuntuti, baru saja kupahami akhir-akhir ini. Apalagi dengan posisi mapan di sebuah perusahaan bonafid, menambah nilai plus suami di mata lawan jenis. Cincin emas putih pernikahan yang melingkar di jari manis kirinya sama sekali tidak mempengaruhi penilaian perempuan iseng pemburu cinta. APalagi semenjak kami pndah ke Jakarta, di mana nilai-nilai benar salah dan baik buruk sudah semakin melebur, tak jelas batasnya.

Diawali dengan sms-sms singkat di hp suami dari nomor yang tak kukenal, jelas kata-kata seorang mahluk hawa. "Pa kabar?", "Lagi di mana neeeh?", sampai pesan singkat akhir-akhir ini yang membuatku kalut seperti. "aq kangeeen", "udah makan belum?".

Cemburuku berkobar-kobar. Hatiku menggelegak. "Kok bisa siiih, suamiku meladeni perempuan lain seperti ini?"

Sedih, marah, bingung, putus asa, kecewa, sakit hati memenuhi seluruh rongga hatiku tak bersisa.

Ketika kutanyakan pada A' Deden, jawabannya sederhana saha. "Aku nggak ada apa-apaan kok sama dia, seiurs. Cuma kamu yang kusayangi. . .," jawabnya enteng seakan tanpa dosa.

"Cuma aku? Lalu dia siapa?" tanyaku. Sungguh teman, cemburu itu menyakiti. Membuat pandangan sempit bagai terhimpit. Tidur tak nyenyak, makan tak enak.

"Yaaa, teman biasa saja," katanya lagi dengan nada seringan kapas.

Sungguh aku jadi mengerti. 100% aku jadi paham kenapa film-film kartun menggambarkan kemarahan tokoh di dalamnya dengan keluarnya asap putih panjang dari lubang hidung dan telinga sang tokoh seperti asap lokomotif. Darah yang mendidih di dalam diri karena rasa jengkel bisa jadi memang sanggup mengeluarkan asap putih seperti itu.

"Yaa, dia mungkin memang naksir aku. Akunya sih biasa saja." lanjut suami seakan tak memahami membaranya hatiku. Entah benar-benar tak tahu, entah hanya pura-pura belaka.

"Kalau biasa saja kenapa sms-nya TERUS_TERUSAN???? sampai bilang kangen segala? KENAPA????" tanyaku bertubi-tubi. Suaraku seperti mendesis, setengah mati menahan emosi yang siap meletus bagai Krakatau.

"Ya tanya dong sama dia, jangan sama aku!" kata suami dengan suara meninggi. Aku jadi bingung terpaku. Tuhan, sebetulnya siapa sih yang salah? Kok malah jadi suamiku yang marah?"

Hari itu pertengkaran kami akhirnya merembet kemana-mana, bagai air bah yang mengaliri seluruh penjuru daerag yang lebih rendah.

Esok paginya tak ada satupun dari kamu yang memulai pembicaraan, hingga beberapa hari sesudahnya, di mana lagi kalau bukan di atas kasur di rumah Aki.

***

"Neng, pernikahan sakinah mah bukan pernikahan yang nggak ada ributnya," kata Ene' padaku. "pernikahan sakinah itu adalah pernikahan yang ketika ribut segera kembali ke Al Quran dan As Sunah," jelasnya. Kemudian Ene' mengisi wadah tempat minum ayam kate dengan air ledeng dan meletakkannya di dekat kandang.

Aku tercenung mencoba mencerna nasehatnya.

"Jadi, pernikahan Ene', "namanya juga manusia menikah dengan manusia, justru di situlah letak ujiannya. Lewat kesulitan itu Allah kasih kesempatan untuk meraih anak kunci masuk ke salah satu SurgaNya," jawab Ene' dengan tenang.

"Tapi Aki kan dari pesantren, orang alim, kenyang ilmu agama, pasti dong Aki juga udah paham betul bagaimana menjadi suami teladan. Ya kan, Ne'?" tuturku. Aku jadi merasa tidak enak, kentara betul aku membandingkan Aki dengan suamiku.

Ene' menjawab, "Lulusan pesantren juga manusia biasa, Din, yang tak lepas dari khilaf dan salah," katanya, "Ene' pun juga banyak salahnya pada Aki-mu, kami berdua selalu berusaha saling memaafkan," tutur beliau lagi.

"Tapii, kalau hmm. . . terlanjur sakit hati, cara memaafkannya bagaimana, Ne'?" tanyaku lamat-lamat, berusaha menutupi apa yang kemarin kualami dengan suami.

"Justru di situlah kunci surganya, Din," jawab Ene', ayam-ayam kate mengitari tubuh mungilnya, "Makin sakit hati, makin sulit memaafkannya, makin besar peluang masuk surgaNya kalau kita berhasil memaafkan pasangan," katanya lagi, "MAUUU?" tanya beliau padaku, tentu saja tanpa bermaksud menirukan iklan salah satu provider telepon seluler.

Wuih, siapa pula yang nggak mau masuk surgaNya Allah, pikirku, Beban yang menyesaki dada tak ada sudah, lepas, terbang jauh bagai layang-layang yang putus talinya. Kurasakan seluruh hati, pori dan nadi di tubuhku sudah memaafkan A' Deden. Alhamdulillaaah. . .

Kata-kata Ene' sangat menginspirasi. Ayam-ayam kate yang mebgerumuni Ene' menepi memberiku jalan untuk memeluknya dengan sepenuh sayang.

"Geuliiiis. . .ayaaaaang. . .," terdengar suara khas Aki memanggil Ene'.

Mendengarnya, mata Ene' berbinar bahagia seperti remaja belia dilanda cinta pertama.

***

Siang itu kami menikmati ikan mas goreng garing dan segarnya karedok racikan Ene'. Ujang yang menangkap ikan-ikan malang itu dari komal Aki. Malamnya A' Deden meladeni tantangan Aki bermain catur. Subhanallah, luar biasa kemampuan otak manusia Maha Karya Allah kalau saja benda lunak itu dijaga dengan baik oleh empunya seperti halnya Aki. Usia senja tidak menghambat kemampuan kerja otaknya.

Langit Dago memainkan orkestra angkasa raya. Pemainnya ribuan bintang yang bertaburan. Ene' dan aku duduk di bangku teras belakang dengan mata menikmati pesta sang langit, masih membahas topik yang sama, indahnya memaafkan yang belum tuntas kmi bahas siang tadi.

Malam itu memang malam yang luar biasa. Langit Dago cerah, sangat bersih seakan bebas polusi. Bintang-bintang keperakan berkilauan tumpah ruah berserakan. Langit jadi tampak membulat karena di kakinya bertaburan bintang sebagai batas pandangan mata manusia, menciptakan skala kemegahan angkasa raya. Di atas puncak Dago ini, gemerlap permata langit itu begitu jelasnya sehingga terlihatlah garis-garis antar bintang membentuk gugusan rasi-rasi seperti yang kerap kita lihat di buku-buku astronomi.

Baru malam itu aku tersadar, bahwa sebagian gugusan rasi itu ternyata sungguh nyata dan bukan sekedar rekaan manusia belaka. Ia terbentuk dari cemerlangnya pendar masing-masing bintang sedemikian sehingga mereka pun terhubungkan satu sama lain. Maha Suci Allah pemilik keangungan arsy yang terbentang seluas langit dan bumi. Kata-kata Ene' mengembalikan kesadaranku. Kata beliau, "Bayangkan, Din. . . bayangkan bagaimana jadinya kehidupan kamu kalau setengah abad lalu kami, Ene' dan Aki-mu, tidak saling memaafkan?"

Kata-kata yang diucapkan Ene'; dengan lembut, tapi dengan kekuatan ruhiyah yang dalam serta merta membuatku terkesiap. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi setengah abad yang lalu?>

***

"Kami baru menikah lima tahun," tutur Ene'. "Aki-mu ditugaskan perusahaannya ke kepulauan Riau. Waktu itu sarana komunikasi belum secanggih sekarang, Din. Kami bercakap-cakap lewat telepon paling sering dua minggu sekali. Aki pulang menengok Ene' dan anak-anak setiap enam bulan sekali."

"Berapa tahun Aki bekerja seperti itu, Ne'?" tanyaku, membayangkan rinduku pada A' Deden jika ia harus meninggalkanku pergi jauh seperti Aki dan Ene' dulu.

"Sekitar empat tahun," jawab Ene'. "Aki bekerja di perusahaan pertambangan, jauh menembus rimba di pedalaman Sumatra," tuturnya. "Sebetulnya Ene' sangat cemas memikirkan keselamatan Aki. Binatang buas, hujan lebat, tersesat di belantara, adalah ancaman bahaya yang selalu membayangi, membuat lantunan doa Ene' tak pernah putus untuk suami."

Rasanya hanyut aku terbawa arus cerita Ene'. Kata-katanya sangat mengharukan, sarat dengan emosi cinta pada sang jantung hati.

"Ketika hujan lebat mengguyur, guntur menggelegar, Ene' selalu ingat Aki kemudian tersungkur bersujud, memohon keselamatan Aki pada Allah. 'Rabbi, jagalah suami hamba, selamatkanlah suami hamba', begitu pinta Ene' selalu," tuturnya. "Namun, yang Ene' tidak tahu, dua tahun setelah bertugas di sana, Aki telah menikahi sorang gadis pribumi, seorang gadis kubu berwajah cantik."

Masya Allah, sebuah antiklimaks kisah Cinderella yang dituturkan Ene' dengan nada sangat biasa, disempurnakan dengan ekspresi keikhslasan yang sulit kugambarkan keindahannya.

Aku sendiri terbius haru, membayangkan Ene' bersujud menangis di atas sajadahnya memohon keselamatan sang belahan jiwa, sementara pada saat yang sama bisa jadi Aki di seberang samudra sana tenga bersenang-senang dengan istri barunya.

Kuraih dan kugenggam tangan Ene' yang dihiasi keriput halus itu.

"Kau tahu kenapa Ene' menceritakan hal ini padamu, Din?" perempuan tua itu menatapku dalam-dalam. Aku menggeleng pelan, tak tahu harus bersikap bagaimana.

"Karena menikah lagi secara sah menurut hukum agama bukanlah aib! Itulah mengapa Ene' berani menceritakan ini padamu," tutur Ene' hati-hati, mungkin mengukur kesiapan hatiku. "Walaupun perasaan Ene' kala itu, hancur terpuruk luar biasa."

Aku menghela napas. Malu. Teringat sms-sms di hp suami, sangat remeh dibandingkan dengan ujian yang dialami Ene'. "Bagaimana Ene' dapat memaafkan kesalahan Aki? Lalu bagaimana kelanjutannya? Dimana gadis kubu itu sekarang berada?" aku memberondong Ene' dengan peluru pertanyaan.

Masih dengan tutur kata yang lembut, Ene' menjawab. "Setelah masa tugas di sana selesai, Aki pun bercerita pada Ene' tentang istri baru yang telah beliau nikahi itu," katanya, "Ene' tahu, Din, saat itu pun hati Aki sebetulnya menangis karena telah menyakiti hati Ene', tapi Ene' punya pemikiran lain. . ."

Kagum pada perempuan di hadapanku bertambah-tambah. Di saat perempuan lain pada situasi tersebut mungkin telah hancur, tenggelam dalam kesedihan, Ene' malah bisa berpikir jernih. Bayangkan, 'punya pemikiran lain'. . ., kalimat yang menyiratkan ketenangan dan kecerdasan hati tingkat tinggi.

"Ene' ingat, selama itu tak kenal lelah berdoa pada Allah mohon supaya Allah menjaga Aki, mohon keselamatan Aki," lanjutnya, "Membuat Ene' berpikir, jangan-jangan. . . menikahnya Aki dengan gadis kubu itu adalah cara Allah mengabulkan doa, menjaga suami Ene' dari maksiat, atau supaya suami Ene' ada yang merawat nun jauh di hutan sana?"

Subhanallah, pantaslah Allah menghadiahi kunci surga bagi keridhaan tak terbatas seorang istri yang dadanya lapang memaafkan kesalahan suami, yang berbakti pada suami, yang menomorsatukan kepentingan serta kebahagiaan suami di atas segalanya. Aku merasa tubuhku menyusut, makin kecil, semakin kecil dibanding wanita mungil namun perkasa di hadapanku itu.

"Ketika Allah mengilhamkan hal itu pada diri Ene', seketika itu juga Ene' memaafkan Aki. Ene' yakin, semua itu sudah ketentuan Allah yang terbaik bagi kami semua," Ene' mengakhiri kisahnya.

Hatiku gerimis. Bening air menitik di sudut mataku. "Kemana gadis itu sekarang, Ne'?"

"Ia minta cerai setelah beberapa bulan tinggal bersama kami di Bandung, Din," kata Ene', membuatku batinku bersorak, "Mungkin tak betah dengan hingar-bingar kota Bandung, maklum, ia kan dibesarkan dalam rimba."

Satu dua ekor komet tampak berkejaran di layar angkasa, seakan tengah mencuri dengar kisah indah salah seorang penduduk bumi. Ene' mendongak memandang langit. Kata beliau, "Din, tahukan, bahwa cahaya bintang yang ditik ini sedang kita tonton sebetulnya dipancarkan sang bintang ratusan tahun yang lalu, hanya saja baru saat ini tiba di lapisan langit yang terdekat dengan bumi, hingga baru sekarang bisa kita nikmati terang cahayanya?"

Aku menggeleng, terpesona dengan kebesaran Allah, juga dengan luasnya wawasan Ene'.

"Renungkan Din," kata Ene' lagi, "Bintang itu mengingatkan kita, betapa pendeknya umur kehidupan seorang anak manusia dibandingkan dengan masa yang telah dilalui bumi tempatnya berpijak. Dan tak seorang juga yang mengetahui berapa lama lagi masa kehidupannya di atas bumi ini berakhir. . ."

Untaian mutiara dari mulut Ene' sangat indah, tapi penutupnyalah yang tak bisa kulupakan hingga kapanpun.

"Di ujung usia Ene' ini Din, hidup terasa singkat. Rasanya baru sekejap mata sejak Ene' mengenal Aki," tuturnya.

Aku menatapnya lekat, tak ingin kehilangan satu kata berharga pun.

"Pernikahan Ene' dan Aki adalah hal terindah yang Allag berikan pada kami di luar indahnya iman, Din. Yang ada hanyalah kenangan manis demi kenangan manis. Bisakah kau bayangkan, Din," kali ini kata-katanya melambat penuh penekanan, "seperti apa jadinya kehidupan rumah tangga kami lima puluh tahun terakhir ini, kalau saja waktu itu Ene' memilih untuk tidak ridha dan tidak memaafkan Aki-mu?"

Allah, Maha Besar Tuhanku yang telah melapangkan hati hambaNya seluas hati Ene' kami. Hati istri shalihah, angkasa raya pun terasa sempit dibandingkan dengannya?

***

Kami pulang ke Jakarta dengan hati bary, dengan tekad meniru sakinahnya rumah tangga Aki dan Ene'. Tangan kananku bertumpu mesra di atas paha kiri suami, sesekali ia meremas jemariku sambil tersenyum melirikku. Kontras dengan keberangkatan kami sebelumnya.

Kami pulang dengan membawa oleh-oleh yang sangat berharga. Nasehat Ene' dan Aki terus terngiang, "Jika pasangan hidupmu khilaf dan berbuat salah, maka rangkullah dan segera maafkan. Jadikan dirimu tempat belahan jiwamu selalu rindu pulang, karena tahu bahwa dia akan selalu diterima dengan hati lapang."

Namun tak satupun dari kami menyangka, itu adalah wasiat terakhir Ene', juga Aki.

Hanya seminggu sesudah perpisahan itu, Ene' kami berpulang menemui pemilik JiwaNya, Allah SWT. Dijemput malaikat Izrail setelah jatuh terpeleset di depan kamr mandi, sebuah sebab kematian yang terkesan sangat sederhana.

Ditinggal geulis-nya tercinta, Aki seperti kehilangan separuh nyawa. Ketika ayah mertuaku menugaskan penggali kubur menggali tempat peristirahatan terakhir Ene', Aki langsung berkata, "Buat sekaligus dua, aku akan segera menyusul Ene'."

Ayah mertua tak berani membantah. Akhirnya menggali dua kubur sekadar menenangkan hati Aki.

Tak dinyana lelaki segar bugar, yang tak sampai dua minggu lalu masih jalan pagi dan main catur bersama kami, benar-benar berpulang menyusul kekasih jiwa dalam hitungan hari. Pergi begitu saja di pembaringan dalam tidurnya, memejamkan mata dan tak lagi kembali. Lagi-lagi skenario Allah yang membuat kami menyerah dalam kebesaranNya, membuat diri ini semakin kerdil tak berarti.



Kini kedua sejoli itu berbaring bersisian di peristirahatan abadi. Kan kurindukan suara Aki memanggil istrinya, "Geuliiiis. . . . ayaang. . ." bersahutan dengan suara mesra Ene' menyambut panggilan itu, "Iya, Akang kaseeeep. . . ."

*Dikutip dari 'New' Catatan Hati Seorang Istri -Asma Nadia-*

Comments

  1. Buat mba Ana,
    Baca lagi setiap kisah yang mba Ana tulis,syp tau disitu mba Ana dpt jawaban yg terbaik. Yang bs membawa kebaikan utk mba Ana dan keluarga. Mba Ana wanita yang kuat, dan jangan pernah kalah akan hal duniawi. Pasti mba Ana bisa. lihat wajah ank2 kembali. Saya salu mdoakan yg terbaik, utk Ibu, Isteri dan wanita yang baik spt mba Ana. Hanya Mba Ana dan Suami yg tau spt apa duduk pmasalahannya dan bagaimana pemecahannya. Allah tempat mengadu yang paling bijak dan Maha Tau yg terbaik bagi umatnya.

    ReplyDelete
  2. Dearest Ana,

    We have same age now. I'm getting married soon this December and after watching your brave video about poligami, I'm thinking so hard and contemplating, what if that horrible thing ever happen to me?

    My pray goes to you and your two little child. Hope you can find your best way out of this. And I (really hope) you'll find someone waaaaaay much more better than your husband.

    Divorce is not a sin. Neglecting your own happiness is a sin. We only live once but once is enough if you doit right. Remember that!


    If you don't eant to share your lovely husband with some othe woman, don't. I believe Allah SWT knows best. He knows your reason enough than anyone else. Dzalim to yourself is a sin.

    Hope you can smile again. I'm all your ears my sister, if you are ever feeling blue and down just remmber I'm, Bangkit Indriyana, someone you never met and knew, support you always.


    Chin ups! Otherwise your crown fall :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SEBAIT DOA UNTUK MEREKA, ISTRI-ISTRI YANG TERSAKITI.

Alhamdulillah, Semua Sudah Berlalu.

Sirup VS Orson