GOSSIP-HASUTAN vs SOSIAL MEDIA


Seorang wanita mengulang sepotong gossip mengenai tetangganya. Dalam beberapa hari, seluruh komunitas mengetahui ceritanya. Orang yang digossipin itu sudah tentu sakit hati dan merasa terpukul.

Kemudian si wanita yang bertanggung jawab karena telah menyebarluaskan gossip tersebut menemukan bahwa gossip itu betul-betul salah.

Dia menyesal dan datang kepada orang tua yang bijak untuk mencari tahu apa yang dapat dilakukannya untuk memperbaiki kesalahannya itu. 

"Pergilah ke pasar," katanya,
"Dan beli seekor ayam lalu sembelih. Kemudian dalam perjalanan pulang, cabuti bulunya dan buang satu persatu di sepanjang jalan pulang." 

Meski kaget mendengar saran itu, si wanita melakukan apa yang disuruh kepadanya. Keesokan harinya si orang bijak itu berkata, "Sekarang pergilah dan kumpulkan semua bulu yang kau buang kemarin dan bawa kembali kepadaku."Si wanita pun menyusuri jalan yang sama, namun angin telah melemparkan semua bulu-bulu itu kemana-mana. Setelah mencari-cari selama berjam-jam, ia kembali hanya dengan tiga potong bulu. 

"Lihat kan?" kata si orang bijak, "sangat mudah melemparkannya, namun tidak mungkin menariknya kembali. Begitu pula dengan gossip. Tidak sulit menyebarluaskan rumor, namun sekali terlempar, anda tidak akan pernah secara penuh memperbaiki kesalahan anda.

Adalah penting untuk menjaga apa yg masuk ke mulut, tetapi lebih penting untuk menjaga apa yg keluar dari mulut.

Ada pula sebuah cerita dari seorang guru mengenai dampak sebuah hasutan/gossip/rumor dan bagaimana cara mengatasinya..

Ketika saya remaja keren selepas SMA,  ada seorang anak SMA yg dihasut tetangganya.  Karena saat itu dia kedatangan teman laki laki ke rumahnya, namun karena gak ada orangtuanya, maka ngobrolnya di teras rumah sampai malam sambil menunggu orangtuanya pulang utk kenalan.  Tiba tiba tetangga itu datang dan menuduhnya berbuat mesum, gak bener, dan sebagainya.  Anak SMA itu tdk kuasa klarifikasi  apapun, karena tetangganya tdk bertanya dan membuat hasutan sendiri lalu disebarkan ke semua lingkungan.  Dibilang anak gak bener, berbuat mesum, gak dididik, gak tau adat, dan macem macem. 
Orangtua (ibu) sang anak hanya menenangkannya, menyuruhnya gak usah dipikir,  biarkan saja karena Tuhan gak pernah tidur, semua perbuatan selalu ada balasannya, dan meminta anaknya ikhlas menerima itu semua, katanya siapa tahu ini jadi rejeki berlimpah buat masa depan anaknya.  Dan anaknya menuruti meng-aminkan nasehat ibunya itu.  Hasutan itupun terus menggema, dan anak itu ya belajar ikhlas mengikuti nasehat ibunya. Dan tetap menghormati tetangganya itu.
Beberapa tahun kemudian, sang anak itu menikah dg laki-laki yg dulu dituduh tetangganya itu.  Rejekinya bagus, entah kenapa bisa begitu,  usaha pun maju pesat dan di usia muda sudah memiliki rumah bagus, kendaraan mobil beberapa, dan membeli ruko di Bintaro.  Dan tetap menghormati 'mantan' tetangganya itu, bahkan kerap mengunjunginya. Hingga suatu hari tetangganya itu selalu minta maaf kepadanya.
Sementara tetangganya itu mengalami kejadian persis seperti hasutannya, anaknya hamil diluar nikah sehingga dinikahkan diam-diam,  dan nampak terpukul sekali, lalu rejekinya menurun, hingga kemudian mesti menjual rumahnya untuk membiayai anak anaknya yg banyak 'bermasalah'.
.
Setiap orang memiliki ujian besar,  ikhlas terima saja karena dibalik minus selalu ada plus yg kelak datang menyeimbangkan.  Fokus kpd plus, nikmat balasan yg akan datang.
Dan sekecil kecilnya perbuatan kita kpd siapapun selalu berbalas sama baik dalam kehidupan ini maupun mendatang. 
Tuhan tdk pernah tidur.



Nah, apa yang saya pelajari dari dua cerita di atas?
Saya menjadi pribadi yang fokus pada plus dan belajar untuk tidak mempedulikan cerita, omongan, hasutan, prasangka, bahkan hinaan dari para pembenci. Terserah mereka, fokus pada negatif, hanya merugikan diri sendiri..

Langkah awal yang saya ambil adalah dengan, TIDAK MENGAKTIFKAN SEMENTARA SEMUA AKUN SOSIAL MEDIA SAYA. Akan lebih baik jika saya yang menghindar, karena sepertinya dari cerita orang-orang, apa yang sering mereka perbincangkan kebanyakan semua mengenai postingan-postingan saya (?) Entahlah, saya tidak pernah melihat atau membaca secara langsung komentar-komentar mereka, selain buang-buang waktu, juga merusak suasana positif yang sudah saya bangun. 

Saya sudah memutuskan, saya benar-benar ingin MENUTUP YANG KEMARIN, berusaha MEMAAFKAN orang yang telah menyakiti saya, terlepas dari pembelaannya bahwa dia tidak bersalah dan hanya menjadi korban disini. 

Dan ya, seminggu TANPA SOSIAL MEDIA, tanpa gangguan komentar-komentar para pembenci yang biasa nyelip di salah satu postingan saya, tanpa gangguan pertanyaan klarifikasi ataupun informasi mengenai postingan ataupun komentar-komentar para pembenci di salah satu akun instagram, membuat hari-hari saya lebih berkualitas.

Terlepas dari para pembenci; setelah beberapa hari tanpa sosial media, waktu saya tidak terbuang hanya untuk update status di Path, Facebook, Instagram, kemudian buka-tutup-buka-tutup semuanya hanya untuk melihat moment saya di Path sudah berapa love, postingan saya di instagram, apakah ada comment-comment yg merusak suasana hati, ataukah ada direct message dari orang-orang yang sebenarnya sayang dan perhatian yang mencoba mengklarifikasi atau menginformasikan soal postingan dan komentar-komentar dari para pembenci (sebenarnya itu merusak mood positif saya), cek Facebook, kemudian balik lagi cek Path, trus cek Instagram, trus upload lagi, begitu seterusnya -_-'


Sampai akhirnyaa.. Suami saya menyarankan untuk me-log out semua akun saya, karena dia benar-benar paham karakter saya, cepat terpancing emosi.. Apalagi jika hal itu tidak sesuai dengan fakta yang terjadi dan menjurus pada fitnah, tapi saya pikir-pikir, mungkin lebih baik jika men-deactive-kan semuanya. Agar saya terhindar dari godaan membuka, godaan untuk meng-update status atau meng-upload sesuatu, mengecek apakah ada DM atau negative comment di postingan saya. 

Awalnya beraaaaaaat, karena saya termasuk orang yang tidak bisa lepas dari sosial media, tapi Alhamdulillah, hari ke-7 tanpa sosial media, ternyata hidup dan waktu lebih berkualitas. Suasana hati dan pikiran lebih tenang, tidak terganggu dengan segala macam hal yang negatif, lebih fokus tesis, lebih fokus ibadah, jam tidur lebih teratur :) 

Dan ternyata, berdasarkan penelitian dari  Happiness Research Institute, Hidup tanpa sosial media LEBIH BAHAGIA. Mereka menyurvei lebih kurang 1.085 orang yang tidak terkoneksi dengan media sosial untuk sementara waktu.

Hasilnya, sebagian besar dari mereka mengaku lebih bahagia dan hidup terasa jauh lebih baik.

Sebanyak 88 persen responden mengaku hidup lebih bahagia tanpa media sosial. 

Sampai saat ini, saya masih tetap akan men-deactive-kan semua akun saya.

Sampai kapan?

Entahlah.. Mungkin sampai saya benar-benar sudah ahli dalam mengendalikan emosi positif saya agar tidak rusak karena hal-hal negatif dari orang-orang negatif. Karena saat ini saya masih "belajar" :) Belum terlalu siap untuk ujian praktek :)) 

Saat ini, sepertinya hanya di blog ini saya bebas mengekspresikan segala emosi saya. Tidak ada yang nyinyir, tidak ada yang sok tahu, ya, kalopun ada, saya tidak harus tau atau tidak sampai tau :)  

Tidak suka dengan saya, itu masalahnya sendiri, kecuali saya mengganggu ketenangannya, atau rumah tangganya, baru boleh ngata-ngatain saya atau benci sama saya atau apapun itu. 

Sekali lagi. Terserah Anda, terserah saya, dan TERSERAH ALLAH :) 

Comments

Popular posts from this blog

SEBAIT DOA UNTUK MEREKA, ISTRI-ISTRI YANG TERSAKITI.

Alhamdulillah, Semua Sudah Berlalu.

Sirup VS Orson